Ternate, goldennews.co.id– Jeritan Ahli waris Alexander de Gorio (AG) soal lahan yang mereka klaim di Desa Lelilef, Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara (Malut) berpindah tangan melalui proses ‘gelap” kini jadi perhatian berbagai elemen. Kalangan aktivis bersatu dan siap bergerak membantu memperjuangkan hak ahli waris AG.
Diketahui, para ahli waris AG mengklaim lahan yang kini menjadi kawasan industri pertambangan PT Indonesia Weda Bay Indutsrial Park (IWIP) itu adalah milik mereka. “Di atas lahan milik leluhur kami itu sudah berdiri area perkantoran, smelter dan power plan PT IWIP. Aktivitas pertambangan luar biasa di sana. Dengan segala daya dan upaya, lahan tersebut akan kami rebut kembali,” kata Johan de Gorio, salah satu ahli waris Alexander de Gorio dan Usman de Gorio saat dihubungi Rabu (15/2/2023).
Niat dan upaya Johan de Gorio serta semua ahli waris Alexander de Gorio mendapat dukungan kalangan aktivis. Tak hanya asal Malut, aktivis dari berbagai provinsi berempati terhadap perjuangan ahli waris Alexander de Gorio.
“Kami anggap ini masalah serius, masalah nasional. Kawasan industri PT IWIP yang ditetapkan Presiden Jokowi sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) harus menyelesaikan permasalahan yang melilit pembelian lahan. Jangan rakyat kecil yang jadi korban,” ujar Stanley Suprapto, aktivis asal Bandung, Jawa Barat (Jabar).
Stanley menyatakan siap terjun dan berjuang bersama ahli waris Alexander de Gorio. “Beberapa rekan mau bergabung. Kami tak ingin ada masyarakat kecil yang dizolimi,” ucapnya.
Kesiapan bergerak juga disampaikan Akbar asal Jakarta. Mantan aktivis mahasiswa itu siap membawa kasus ini ke DPR RI dan instansi terkait di pusat . “Kita butuh investasi, kita berterimakasih jika investor dan perusahaan lain masuk ke Indonesia. Namun, perlu diingatkan jangan sampai kehadiran mereka meminggirkan rakyat kecil,” ujar Akbar.
Sementara Yamin Makasuang, aktivis yang kerap membongkar kasus korupsi di kawasan Indonesia Timur berjanji menurunkan tim untuk unjuk rasa di Jakarta. “Jangan anggap remeh rakyat kecil. Kami akan berjuang bersama ahli waris demi terwujudnya keadilan,” ucap Yamin.
Penetapan Ahli Waris
Diketahui turunan ahli waris Alexander de Gorio dan Usman de Gorio sudah ditetapkan sebagai pemilik sah lahan di Desa Lelilef. Hal ini mengacu pada penetapan Pengadilan Agama Soasio, Malut nomor 20/Pdt.O/2020/PA.SS tertanggal 6 Mei yang ditandatangani Mursal Ayub Sag selaku panitera.
Melalui surat tersebut disebutkan Johan de Gorio (67), Sarah Usman de Gorio (62), Muchlis de Gorio (60 tahun), Jufri de Gorio (53) dan Nurdiana de Gorio (52) serta sembilan cucu dari kelimanya merupakan pewaris sah lahan milik Alexander de Gorio dan Usman de Gorio.
Kepemilikan atas tanah yang membentang di kawasan pertambangan itu makin kuat dengan adanya egeindom verbonding eugendom verb no 64 yang diterbitkan di Manado 18 Desember 1924. “Tanah itu jelas milik leluhur kami Alexander de Gorio dan Usman de Gorio,” kata Nuraini, anak dari Sarah de Gorio.
Nur berkisah jika jeritan mereka selama ini tak didengar. Tangisan mereka mengiringi perjalanan investasi tak sedikit yang digelontorkan perusahaan yang dipimpin sejumlah eksekutif asal Cina itu.
Tapi, mereka terus memendam asa dan percaya suatu saat keadilan itu akan datang. Melalui media, kelima ahli waris dan sembilan cucu yang disebutkan dalam penetapan Pengadilan Agama Soasio tersebut berharap realita yang sesungguhnya terjadi bisa sampai ke Presiden Jokowi.
“Kami tak tahu harus bagaimana. Namun kami tetap memendam asa bisa mendapatkan apa yang menjadi hak kami,” ucap Nur, sapaan akrab Nuraini.
Gebuk Mafia Tanah
Pengaduan Nur dan para ahli waris Alexander de Gorio ke Jokowi melalui media bisa dimaklumi. Di berbagai kesempatan, Presiden Jokowi menginstruksikan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), seluruh kepala daerah dan Kapolda menggebuk mafia tanah yang mencoba mempermainkan masyarakat.
Orang nomor satu di Indonesia itu berharap pemberantasan mafia tanah menjadi prioritas. Pertimbangan Jokowi, para mafia tanah itulah yang sering menyulitkan masyarakat dalam mengurus sertifikat.
“Saya sudah sampaikan ke Pak Menteri Hadi Tjahjanto agar tidak memberi ruang bagia mafia tanah menjalankan aksinya. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak, yaitu rakyat,” ujar Jokowi saat memberi sambutan usai menyerahkan 1.552.450 sertifikat hak atas tanah untuk rakyat di Istana Negara, Jakarta, akhir Desember lalu 2022 lalu.
Penegasan Jokowi itulah yang memberi harapan bagi Nur dan semua keluarga ahli waris Alexander de Gorio untuk bisa mendapatkan hak mereka kembali. “ Kami percaya suatu saat keadilan itu datang,” ucapnya.
Dokumen Digelapkan
Nur sendiri mengakui jika sempat ada pihak lain yang sudah memalsukan dan menjual lahan milik mereka itu. Pihak yang dimaksud itu adalah Felix Baay.
“Felix Baay masih keluarga dekat kami juga. Dulu orang tua kami Usman de Gorio menitipkan surat-surat kepemilikan lahan ke Abdullay Baay, orang tua Felix Baay. Ketika itu anak-anak dari Usman de Gorio masih kecil-kecil,” Nur menguraikan.
Sayangnya surat-surat berharga itu justru tak dikembalikan ke pemilik yang sah. Felix Baay malah menjual kurang lebih 20-an hektar yang berisikan kebun kelapa ke PT Weda Bay Nickel (WBN) dan PT IWIP seharga Rp2,5 miliar.
Atas terjadinya transaksi tersebut, Johan de Gorio dan empat ahli waris lainnya serta warga yang mengetahui status kepemilikan itu melakukan aksi demonstrasi. Namun, massa tidak bisa berbuat apa-apa karena PT IWIP dan PT WBN menggunakan bantuan pengamanan.
“Selaku ahli waris, kami merasa yakin Felix Baay dan orang-orang tertentu dari PT WBN/PT IWIP, bahkan instansi terkait telah melakukan tindakan disengaja ataupun tidak disengaja menghilangkan hak-hak dari warisan leluhur kami,” ungkap Nur.
Surat Kejaksaan Tinggi Malut
Para ahli waris mengaku sempat lega saat Kejaksaan Tinggi Malut mengeluarkan surat nomor: B-259/Q2.4./Eku/2021 tentang pengembalian berkas perkara atas tersangka Felix Baay alias Hi Felik yang disangka melanggar pasal 263 ayat 1 dan 2 atau pasal 372 KUHPidana.
Di surat yang ditujukan ke Ditreskrimum Polda Malut itu, Kajati Malut antara lain berharap dilakukan penyitaan surat asli penjualan kebun kelapa di Lelilef, Kewedan Utara, Malut, 28 Juni 1963. Di surat yang ditandatangani Asisten Tindak Pidana Umum Kejati Malut, Saiful Bahri SH, MH pada 2 Juli 2021 itu disebutkan pula bahwa tersangka disangkakan dengan pasal 372 KUHP yang memililiki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain.
“Sudah ada penyebutan tersangka untuk Felix Baay. Sebenarnya ini petunjuk kalau semua transaksi yang dilakukan Felix Baay itu tidak benar. Ada pemalsuan dokumen,” kata Nur.
Felix Tak Mau Diekspos
Sayang Felix Baay sampai berita ini enggan memberikan pernyataan. Felix dan istrinya disertai Fanny salah satu anaknya saat ditemui di rumahnya, Selasa (14/2/2023) sempat menceritakan kisah menurut versi mereka. Tapi mereka meminta untuk tidak diekspos.
“Maaf kami tidak mau diekspos, sudah ada pengacara kami yang menangani ini,” ujar Felix.
Sementara pemerhati sosial Amas Mahmud yang kini menetap di Jakarta menyayangkan kebijakan dan sikap PT IWIP tersebut. Seharusnya menurut Amas, investasi besar itu berbanding lurus dengan pemenuhan hak-hak atas kepemilikan tanah dan kesejahteraan masyarakat.
“Terima kasih untuk investasinya, tapi tolong selesaikan dugaan salah bayar pembelian lahan yang saat ini sebagian sudah dimanfaatkan PT IWIP untuk perkantoran, smelter, power plan dan lainnya. Saya percaya manajemen PT IWIP bisa menuntaskan ini,” ucap Amas.
PT IWIP Bungkam
Sayang sampai berita ini diturunkan, pimpinan PT IWIP belum juga memberikan komentar. Media ini sudah berupaya meminta tanggapan ke Vice President PT IWIP Kevin He dan HRD Roslina Sangadji melalui layanan whatsapp, namun tak direspon. Manajemen PT IWIP memilih bungkam.
Sebelumnya General Manager External Relations & Human Resource PT Weda Bay Nickel (WBN)/ PTIWIP Yudi Santoso ketika dihubungi mengaku tak tahu soal ini. “Kalau soal tanah, saya tidak tahu,” ujar Yudi singkat. (*/kor)