Minahasa, goldennews.co.id – Program ramah lingkungan yang dicanangkan Bupati Minahasa saat itu Royke Octavian Roring (ROR) , pada tahun 2019 kini menjadi sorotan setelah diduga terjadi sejumlah penyelewengan.
Program ini yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) 2020, dituding tidak melalui proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) desa dan dianggap sebagai kegiatan yang dipaksakan oleh pejabat Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Minahasa.
Dalam pelaksanaan program, muncul beberapa kejanggalan. ROR disebut menunjuk EM, yang merupakan sepupunya, beserta suami EM, AFJ, sebagai penyedia tas yang akan dibagikan.
Padahal, Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) No. 12 Tahun 2019 mengamanatkan bahwa penunjukan penyedia barang yang menggunakan dana APBDes seharusnya dilakukan oleh desa yang bersangkutan.
Tak hanya itu, perusahaan yang digunakan dalam kesepakatan penunjukan adalah CV Tuama Minahasa Asli. Belakangan, diketahui bahwa perusahaan ini tidak dimiliki oleh EM maupun AFJ.
Menurut Direktur CV Tuama Minahasa Asli, SH, perusahaan tersebut hanya dicatut namanya untuk proyek pengadaan tas ini.
SH mengaku tidak mengetahui adanya proyek ini dan menyatakan bahwa perusahaannya tidak terkait dengan pengadaan tas ramah lingkungan tersebut.
EM dan AFJ diduga menggunakan jasa pihak ketiga, Home Industry Elnine Garment, untuk menyediakan tas ramah lingkungan.
Mereka membeli sekitar 100 ribu tas seharga Rp 8.500 per buah, lalu menjualnya kembali dengan harga Rp 15.000 per tas.
Keuntungan dari penjualan tersebut dinilai sangat besar, namun di balik keuntungan itu terdapat tunggakan pembayaran kepada pihak Elnine Garment sebesar Rp 773,5 juta, yang menyebabkan kebangkrutan pihak penyedia barang serta memengaruhi kehidupan pribadi pemilik usaha.
Fakta-fakta ini terungkap setelah tim Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Polres Minahasa melakukan penyelidikan mendalam.
Gelar perkara dilakukan di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Utara, dan penyelidikan atas pengadaan tas ramah lingkungan ini pun dinaikkan statusnya ke tahap penyidikan.
Dalam penyidikan ini, penyidik telah memeriksa sekitar 40 Hukum Tua dari enam kecamatan dan mengumpulkan dokumen terkait pengadaan tas. Mereka juga berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Sulawesi Utara untuk menghitung kerugian negara.
Namun, proses penyidikan tersendat akibat mutasi mendadak Aiptu Vicky Katiandagho, Kepala Unit Tindak Pidana Khusus Satreskrim Polres Minahasa, ke Polres Kepulauan Talaud.
Mutasi ini menimbulkan pertanyaan dari Sekretaris DPD PSI Minahasa, Yoan Saralisa Weku, yang menganggapnya sebagai langkah yang mencurigakan. “Aiptu Katiandagho adalah polisi berintegritas dan berprestasi di Polres Minahasa. Bagaimana masyarakat bisa percaya pada kepolisian jika hal-hal seperti ini terus terjadi? Hal ini juga bertentangan dengan upaya Presiden Prabowo untuk memberantas korupsi,” ujar Yoan.
Kasus ini menimbulkan kekhawatiran terkait transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pemerintah, khususnya di tingkat daerah.
Masyarakat kini berharap agar penyidikan kasus ini dapat dilanjutkan dan memberikan keadilan bagi semua pihak yang dirugikan. (Red)