Manado, GN – Pemadaman listrik selama puluhan jam di Sulawesi Utara (Sulut) kembali menunjukkan kegagalan Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat.
Pemadaman yang melumpuhkan aktivitas ekonomi dan sosial ini memicu gelombang kemarahan warga, yang secara terang-terangan mengecam buruknya kinerja PLN di media sosial.
“Ayo gugat perdata PLN!” tegas jurnalis senior Joppie Worek di akun Facebook-nya. Ia menyoroti dampak pemadaman yang membuat warga terisolasi selama lebih dari 30 jam tanpa ada kepastian dari PLN.
Jimmy Robert Tindi, tokoh muda dari Nusa Utara, juga melontarkan kritik tajam. “30 jam terisolasi, semua agenda batal. PLN benar-benar mempermalukan diri sendiri,” cuitnya.
Protes juga datang dari kalangan masyarakat biasa. “Kalau listrik telat bayar, PLN buru-buru matikan. Tapi kalau listrik mati sampai lebih dari tiga jam, mana kompensasinya?” tulis Dimasgode di media sosial.
Sindiran lebih pedas disampaikan Iwan Moniaga, aktivis Sulut yang juga mantan Ketua Senat FISIP Unsrat. “PLN layak diberi penghargaan sebagai penggerak ekonomi kerakyatan… tentu saja karena membuat rakyat kembali ke zaman lilin,” katanya.
Sementara itu, politisi senior Manado, RAS Didi Sjafii, menyentil PLN dengan gaya satir. “Terima kasih Tuhan, di tengah suasana Natal dan Tahun Baru, Engkau buat GM PLN Sulutenggo memadamkan listrik agar Manado menjadi Betlehem—gelap gulita seperti saat kelahiran Yesus,” tulisnya di akun media sosialnya, yang langsung viral.
PLN Berkilah, Warga Menuntut Lebih
Dalam penjelasannya, PLN Unit Induk Distribusi Sulutenggo berdalih bahwa pemadaman disebabkan oleh gangguan pada Sistem Transmisi 150 kV akibat cuaca ekstrem.
“Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Kami terus berupaya mempercepat pemulihan,” ujar Manajer Komunikasi PLN Sulutenggo, Noven Koropit.
Namun, permohonan maaf ini dianggap angin lalu oleh warga dan aktivis yang sudah terlalu sering mendengar alasan serupa. Pimpinan PAMI Perjuangan Sulut, Jefrey Sorongan, bahkan menuduh ada persoalan struktural di tubuh PLN yang lebih serius.
“Monopoli proyek oleh anak perusahaan PLN, yaitu PLN Nusa Daya (dulu PLN Tarakan), menjadi salah satu penyebab utama buruknya kinerja mereka. Beban kerja yang tinggi tidak mampu ditangani dengan baik, dan masyarakat Sulut yang harus menanggung akibatnya,” kata Jefrey.
Ia juga menyebut bahwa PLN Nusa Daya memiliki sejarah kegagalan. “Perusahaan ini pernah dicabut izinnya di Tarakan, Kalimantan Utara. Kenapa perusahaan gagal seperti ini diizinkan beroperasi di Sulutenggo?” tegasnya.
Jefrey menyerukan agar izin operasi PLN di Sulut dicabut jika terus merugikan masyarakat. “Wajar jika masyarakat menuntut ganti rugi. Kami sedang mempertimbangkan langkah class action untuk memperjuangkan hak publik. Ini bukan lagi soal pelayanan, tapi sudah merampas hak dasar masyarakat,” ucapnya dengan nada geram.
Menurut Jefrey, dalih PLN soal cuaca ekstrem atau peralatan tua hanya menunjukkan kelalaian manajemen dalam melakukan perencanaan jangka panjang. “Kalau tahu peralatan sudah tua, kenapa tidak diganti sejak lama? PLN sepertinya lebih sibuk bagi-bagi proyek daripada memperbaiki pelayanan,” sindirnya.
Warga Menanti Tindakan Nyata
Pemadaman listrik ini menambah daftar panjang catatan buruk PLN di Sulut. Warga kini tidak hanya menuntut pemulihan pasokan listrik, tetapi juga reformasi total dalam manajemen PLN. Apakah PLN akan terus berlindung di balik alasan teknis, atau mengambil tanggung jawab atas kelalaiannya? Sulut kini menunggu jawabannya.(red)