Pemindahan Patung Sam Ratulangi: Bukti Pemerintah Kota Manado Abaikan Sejarah dan Suara Rakyat

Headline360 Views

Manado, goldennews.co.id – Keputusan Pemerintah Kota Manado untuk memindahkan patung Pahlawan Nasional Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob (GSSJ) Ratulangi dari perempatan Ranotana ke Bandara Sam Ratulangi menuai kontroversi.

Gelombang protes bermunculan dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, sejarawan, budayawan, hingga mahasiswa.

 

Petisi daring yang ditujukan kepada Wali Kota Manado, Andrei Angouw, menjadi wadah utama untuk menyuarakan ketidaksetujuan.

Dukungan datang dari organisasi seperti Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sulawesi Utara, Wale Sam Ratulangi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Mawale Movement, serta para dosen dan mahasiswa dari Fakultas Seni Rupa Universitas Negeri Manado (Unima).

 

Minimnya Keterlibatan Publik dalam Pengambilan Keputusan

Salah satu poin utama yang disoroti publik adalah kurangnya keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Sejumlah pihak mengkritik keputusan sepihak tersebut, dengan alasan bahwa patung ini merupakan simbol sejarah dan identitas lokal yang tak seharusnya dipindahkan tanpa musyawarah.

 

Seorang akademisi menyatakan bahwa langkah ini bertentangan dengan prinsip partisipasi publik yang digagas oleh Sherry Arnstein, di mana masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan warisan budaya.

Baca juga:  Resmi Menghentak, Tujuh Lomba Warnai HUT RI dan HUT Kemenkumham di Rutan Manado

Lebih lanjut, Pasal 50 Permendagri No. 86 Tahun 2017 secara eksplisit mengatur bahwa masyarakat berhak dilibatkan dalam proses perencanaan kebijakan, terutama jika menyentuh aspek budaya dan sejarah.

 

Makna Simbolis Patung dan Identitas Lokal

Patung Sam Ratulangi yang telah berdiri sejak tahun 1970-an di perempatan Ranotana bukan sekadar monumen fisik. Ia menjadi simbol dari nilai-nilai filosofi “Sitou Timou Tumou Tou” — prinsip hidup yang mengajarkan manusia untuk saling memanusiakan.

Bagi masyarakat Sulawesi Utara, posisi patung di ruang publik tersebut memiliki makna khusus sebagai tempat refleksi identitas dan kebanggaan lokal.

 

Beberapa tokoh budaya menilai bahwa bandara, meskipun merupakan gerbang internasional, tidak dapat menggantikan simbolisme patung yang sebelumnya berada di ruang publik.

“Bandara memang pintu masuk globalisasi, tetapi makna filosofis dari patung ini hanya dapat terwujud di ruang yang akrab dengan masyarakat lokal,” ujar Rocky Kalumata, salah satu budayawan.

 

Di media sosial, komentar tajam dari warganet mengkritik kebijakan tersebut. Salah satu pengguna menulis, “Patung ini bukan sekadar benda mati, tapi saksi sejarah perjuangan lokal. Memindahkannya ke bandara seolah menghapus jejak memori kolektif kita.”

Baca juga:  Aldo dan Kerdil Tetap Eksis Berbisnis BBM Bersubsidi, LP3 Sulut Minta APH Bertindak Tegas

 

Desakan Publik dan Seruan Pengembalian Patung

Gelombang protes semakin meluas seiring dengan meningkatnya dukungan terhadap petisi daring.

Masyarakat meminta agar pemerintah kota mengembalikan patung tersebut ke tempat asalnya dan membuka ruang dialog bersama komunitas.

Wali Kota Andrei Angouw juga mendapat sorotan tajam dari penggiat budaya, yang menilai keputusan ini menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan makna lokasi patung tersebut.

 

“Patung itu bukan sekadar hiasan kota. Ia adalah penanda sejarah dan kebanggaan masyarakat. Jika dipindahkan, maknanya akan hilang,” ujar Welly Repi, seorang penggiat budaya.

 

Warga berharap, pemerintah kota dapat menghargai nilai-nilai budaya lokal serta menjalankan kebijakan yang lebih partisipatif.

Sebab, bagi mereka, mengabaikan keberadaan patung ini sama dengan mengkhianati semangat “Sitou Timou Tumou Tou” yang telah menjadi fondasi kehidupan masyarakat Sulawesi Utara.(tim)

Yuk! baca berita menarik lainnya dari GOLDEN NEWS di GOOGLE NEWS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *